Saat stres, sistem kekebalan
seseorang akan menurun. Itulah mengapa jika seseorang mengalami stres, apalagi
jika stresnya kronis, maka ia akan mudah terserang penyakit seperti sakit
jantung, kanker dan demensia. Kendati begitu hingga kini tak ada pakar yang
tahu bagaimana mekanismenya hingga stres dapat memunculkan sakit jantung dan
kanker.
Namun peneliti asal Swedia, Sara K.
Bengtsson dari Ume University mengklaim menemukan jawaban mengapa stres kronis
berkontribusi terhadap perkembangan penyakit Alzheimer atau bentuk paling umum
dari demensia alias pikun.
Menurutnya hal ini disebabkan oleh
peningkatan kadar steroid stres di otak selama periode stres yang mempunyai
kekuatan untuk menghambat aktivitas otak secara umum.
Bengtsson melihat adanya peningkatan
salah satu jenis steroid otak bernama allopregnanolon secara kronis itu
ternyata dapat mempercepat perkembangan penyakit Alzheimer pada dua tikus
percobaan. Bahkan tikus yang kadar steroid stresnya dinaikkan memperlihatkan
adanya gangguan daya ingat dan kemampuan pembelajaran dini di awal perkembangan
penyakit, padahal secara normal gejala-gejala itu takkan muncul.
Setelah mengalami periode dimana
kadar allopregnanolonnya meningkat secara kronis, otak tikus percobaan juga
diketahui memiliki kadar beta-amyloid yang tinggi. Beta-amyloid adalah protein
yang membentuk plak diantara sel-sel saraf di dalam otak penderita Alzheimer.
Studi yang dilakukan Bengtsson pun
menunjukkan kadar beta-amyloid yang tinggi juga dikaitkan dengan disfungsi
sinapsis otak (sambungan sel saraf pada otak).
Studi ini dirasa penting mengingat
adanya fakta bahwa jumlah penderita penyakit Alzheimer ini semakin bertambah
dari tahun ke tahun tapi penyebabnya tak banyak dipahami. Padahal lebih dari
lima juta orang Amerika mengidap Alzheimer dan menurut Alzheimer's Association,
satu dari 8 lansia Amerika hidup dengan penyakit ini. Bahkan prevalensi
penyakit ini diperkirakan meningkat hingga tiga kali lipat dalam kurun waktu 30
tahun ke depan.
Meski masih membutuhkan studi lebih lanjut,
pakar lain pun menanggapi studi ini dengan memberikan penekanan tentang
pentingnya gaya hidup sehat untuk mengurangi risiko demensia.
"Ancaman terbesar dalam hidup
kita adalah gaya hidup kita sendiri. Jika Anda tak grusa-grusu dan
mempraktikkan sejumlah teknik relaksasi, maka hal itu akan berdampak terhadap
kondisi kesehatan Anda," tutur pakar stres, Dr. Kathleen Hall seperti
dilansir huffingtonpost, Rabu (20/3/2013).
Hall pun merekomendasikan agar para
lansia melakukan latihan fisik, latihan otak, meditasi serta memperluas
jejaring sosial untuk mencegah stres dan menciptakan gaya hidup yang lebih
tenang.
source: detik.com
No comments:
Post a Comment